Mencintai tanpa harus memiliki
Cinta.
Satu kata yang sederhana tapi sulit untuk diterka. Wujudnya seperti pencuri yang datangnya diam-diam. Jujur, aku belum pernah mengalami yang namanya jatuh cinta seperti kebanyakan millenials lainnya lakukan. Aku lebih suka menyelami buku-buku sejarah, tenggelam dalam buku-buku filosofi dan ensiklopedia, mencari tahu bagaimana dan kenapa bumi itu bulat, memperbanyak koneksi, pengalaman, teman, dan belajar hal-hal baru yang ngga pernah aku dapet sebelumnya. Menurutku, aku belum terlalu tertarik berbicara dan mengalami yang namanya jatuh cinta.
Ya, itulah aku. Aneh tapi nyata. Hahaha. Tetapi, ketika aku duduk di bangku kuliah atau lebih tepatnya ketika duduk di paruh semester V, tiba-tiba aku bertemu dengan satu orang sosok yang.... aku sendiri pun sulit menjelaskannya. Kalian jangan membayangkan sosok misterius yang kakinya melayang-layang di udara dan tanpa kepala, ya! Hahaha. Sosok yang satu ini sempurna kok, masih punya panca indera, tangan, kaki, otak, dan elemen-elemen lain yang ada dalam tubuh manusia normal :D
Kali pertama bertemu dengannya adalah pada saat aku mengikuti salah satu kompetisi di kampus yang melibatkan mahasiswa/i dari seluruh fakultas. Ketika itu, seluruh finalis dijadwalkan untuk mengikuti psikotest dan itulah kali pertama aku bertemu dengannya. Tak ada perasaan apa-apa yang tumbuh, bahkan ketika kedua pasang mata kami beradu. Aku melihatnya sama seperti aku melihat pria-pria lain di kampusku. Biasa saja.
Lucunya, pertemuan kami tak selesai sampai disitu saja. Saat dinyatakan lulus psikotest dan kemudian diwajibkan untuk mengikuti test wawancara, aku pun bertemu kembali dengan sosok yang satu ini. Ruang wawancara kebetulan dilakukan di luar fakultasku, sehingga agak menyulitkanku untuk mencarinya. Setelah hampir lima belas menit mencari-cari ditambah dengan tanya dosen sana-sini (bahkan dikira maba -_-), aku pun menemukan ruangan kotak ditutupi tembok putih dan pintu berwarna cokelat. Akhirnya ketemu, gumamku. Deg-degan rasanya.
Pada saat aku ingin membuka pintu, tiba-tiba engsel pintu yang berwarna keemasan tersebut bergerak. Ah, ada yang buka dari dalam. Dan pada saat aku mendongak, si cowok itu lagi! Loh, kok dia lagi ya, pikirku. Karena didorong oleh rasa penasaran yang ngga berfaedah, aku pun bertanya : "ini ruangan wawancara, ya?". (Dia kan finalis yang sama denganku. Ngapain pula pake nanya. Bodohhh!, batinku)
"Oh, iya betul. Mau wawancara juga, ya?" katanya. Aku pun mengangguk sambil tersenyum. "Oke, good luck, ya!", ucapnya. Seketika itu, ia pun berlalu. Sekali lagi, tak ada perasaaan yang timbul ketika aku bertemu untuk kedua kalinya. Biasa saja.
Beberapa minggu kemudian, pengumuman mahasiswa/i yang masuk final sudah keluar. Aku mendapati namaku disana. Puji Tuhan, gumamku sambil berlinang air mata karena rasa haru bercampur rasa tak percaya menjadi satu. Pada saat gladi bersih, aku menemukan sosok itu lagi. Tak ada percakapan yang terjadi antara kami. Mungkin karena tampangku yang agak jutek gara-gara seharian kuliah ditambah dengan tugas dan UAS yang harus ku-skip untuk mengikuti acara malam final ini membuat ia segan berbicara denganku. Bahahaha.
Tibalah saat yang ditunggu, acara final. Gemuruh riuh penonton, lampu sorot, yel-yel seru dan terkesan konyol (hahaha) sudah memenuhi ruangan. Aku deg-degan parah. Tapi buatku, menang atau kalah adalah perkara belakangan. Yang penting aku sudah memberikan yang terbaik dan berserah penuh pada-Nya.
Ketika di belakang panggung, aku kembali bertemu dengannya. Aku mendengar dia berbicara. Sungguh berwibawa, penuh wawasan, dia pun memberikan kursi miliknya untuk orang lain yang datang (kebetulan orang itu jauh lebih tua) untuk memberikan kami briefing. Ia juga membantu para kru mengangkat meja dan kursi, memberi suntikan semangat kepada seluruh mahasiswa/i yang akan maju ke atas panggung. Sebuah tindakan kecil yang tanpa disadari membuat aku tersenyum. Jika kamu tanya kenapa, aku pun tak tahu jawabannya. Aku akui bahwa hal itu membuatku kagum padanya.
Setelah acara itu, aku berusaha untuk melupakannya. Berharap bahwa rasa itu hanya kekaguman sesaat. Namun sayang, hati tak sejalan dengan otak. Ketika aku berusaha keras untuk melupakannya, hatiku justru bergejolak sebaliknya. Ah, ada apa denganku?
Suatu hari, dosenku mengajakku untuk ikut acara dari luar kampus. Boleh juga, pikirku. Aku bosan dengan rutinitas kuliah yang itu-itu saja. Lumayan, bisa kenal sama mahasiswa/i dari luar kampus lain. Ketika aku mengiyakan jawaban dosen tersebut dan dikirimi list nama-nama mahasiswa/i yang jadi peserta, sontak aku kaget karena melihat nama sosok itu kembali muncul. Ternyata kampus mengutus beberapa perwakilan mahasiswa/i untuk mengikuti acara tersebut, dan aku beserta sosok itu adalah salah duanya. Alamak, kenapa bisa kebetulan begini?! Namun, banyaknya ilmu baru, teman baru, dan pengalaman baru pun mengurungkan niatku untuk membatalkan keikutsertaanku. Okay, I'm ready for this!
Dimulai dari acara itu, aku dan sosok itu pun mulai sering bercerita dan bertukar gagasan. Aku jadi semakin tahu pola pikir dan tingkah lakunya yang masih saja belum berubah. Humble. Sopan. Sederhana. Ambisius. Konyolnya, aku selalu saja tertawa dan senang tiap kali bercakap-cakap dengannya. Ada perasaaan hangat dan nyaman yang menyelimuti hati.
Kebetulan-kebetulan lain pun kembali mempertemukanku dengannya di beberapa kesempatan. Begitu terus sampai aku belajar banyak hal darinya. Dan tanpa sadar bahwa aku sudah jatuh cinta terlalu dalam. Aku bukan jatuh cinta pada fisiknya, pun bukan dengan materinya, pun bukan dengan hal-hal fisik yang melekat dalam dirinya. Aku jatuh cinta pada ketulusannya, kebaikan hatinya, kesederhanaannya, wawasannya yang sangat luas, dan kemauan untuk selalu berbagi dengan orang lain. Dia ingin agar orang lain bisa memperoleh kebahagiaan dari apa yang dia punya, yaitu hati. Hati itu lah yang juga berhasil mencuri hatiku bulat-bulat.
Semua kebetulan-kebetulan kecil yang kami alami selalu sukses membuatku senyum-senyum sendiri. Hingga kini. Tapi ada yang bilang bahwa di dunia ini ngga ada yang kebetulan. Sudah ada tangan besar yang mengaturnya. Ya, aku percaya itu. Setiap orang dipertemukan karena sebuah alasan. Aku tahu bahwa pertemuanku dengannya adalah cara Tuhan untuk mengajarkanku hal-hal baik yang sebelumnya belum pernah aku dapat sebelumnya. Cara Tuhan untuk meyakinkanku bahwa masih ada spesies pria yang memiliki hati tulus, sederhana, dan sopan di dunia ini. Namun mungkin Tuhan tidak pernah menyangka bahwa aku akan jatuh hati pada spesies pria yang ia ciptakan ini. Mungkin itu diluar dugaan Tuhan. Atau memang ini sudah jalan dan rencanaNya? Ah, tak perlu dipikirkan. Rencana Tuhan memang tak pernah bisa ditebak.
Untukku, mengaguminya dari jauh dan mencintainya dalam diam adalah keputusan yang (sampai saat ini) terbaik. Karena dari situlah aku belajar arti jatuh cinta yang sebenarnya, yang seutuhnya, yang setulusnya. Sudah cukup bagiku untuk melihatnya dan mendoakan yang terbaik untuk masa depannya. Cinta memang tak perlu harus memiliki. Tak perlu dipaksakan. Bukankah cinta mengajarkan kita untuk ikhlas? Bukankah cinta juga yang mengajarkan kita untuk tidak egois? Ya, itulah cinta. Mungkin terkesan bodoh untuk segelintir orang. Tapi buatku, cinta adalah manifestasi dari pundi-pundi ketulusan seseorang terhadap orang lain. Jika kamu tulus mencintainya, maka takdir apapun yang akan terjadi nanti, kamu pasti sudah siap menerimanya. Jika kamu tulus mencintainya, mungkin takdir akan mempertemukan kalian kembali.
Bicara soal takdir, jika Tuhan mengijinkan, aku ingin kembali bertemu dengannya di masa yang akan datang. Aku ingin menyampaikan rasa terima kasih karena apa adanya dirinya, utuhnya dirinya, telah mengajariku banyak hal dan menginspirasiku untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi. Tenang, meski waktu terus berlalu, kamu akan selalu jadi salah satu orang favorit yang menghuni hatiku. Hehe.
Xoxo,
Ev.
Comments
Post a Comment